Kamis, 26 Juni 2014

0 Cara Memperbaiki Pc atau Laptop yang tidak bisa instal windows 8 dan 8.1

Windows RP sekarang telah dirilis dan siap untuk didownload, jutaan pengguna telahpun menginstall dan mengekplorasi fitur baru dalam windows 8 ini. Dan pada saat yang sama juga tampaknya banyak pengguna yang mengalami masalah pada saat mengupgrade ke windows 8.

Ketika mencari solusi di google ataupun bing, ratusan pengguna yang telah mencoba untuk mengupgrade ke windows 8 mengalami masalah seperti ini pada saat setup berlangsung “our PC’s CPU isn’t compatible with Windows 8″, walaupun spek komputernya memang mendukung untuk diinstall windows 8. Menurut pihak microsoft sendiri, kesalahan (error) ini terjadi jika prosesor (CPU) tidak mendukung salah satu fitur berikut: Physical Address Extension (PAE), NX, atau SS2.
Pengguna yang mengalami masalah tersebut bisa mencoba untuk mengaktifkan fitur NX bawah pengaturan security BIOS. Jika ada, kita akan melihat settingan NX atau XD bawah tab security. Dan jika pilihan tersebut tidak tersedia, kita mungkin perlu mengunjungi produsen dan mengupdate BIOS ke versi terbaru.  
Jadi, Adakah cara menginstal Windows 8 dengan melewati kesalahan ini? Saat ini, tidak ada solusi untuk menginstal Windows 8 pada mesin yang tidak mendukung PAE/NX/SSE2. Seperti yang kita ketahui, Windows installer berisi dua versi: installer pengguna akhir dan installer komersial.  Installer komersial berjalan ketika PC di-boot dari media bootable dan tidak mencari fitur tersebut di atas. Namun menurut sebuah info yang dirilis oleh Microsoft, jika ada user yang mencoba versi alternatif dari setup (installer komersial) pada sistem yang tidak mendukung PAE/NX/SSE2, pengguna akan menemukan kesalahan yang sama selama proses setup.


CATATAN: Jika mendapatkan error yang sama pada mesin virtual, aktifkan pengaturan PAE / NX dalam software mesin virtual atau di konfigurasi manajernya.

Cara mengecek apakah CPU (prosesor) kita mendukung Windows 8
Bagi teman2 yang mengalami error “Your PC’s CPU isn’t compatible with Windows 8″ pada saat menginstall windows 8 ataupun mengupgrade ke windows 8. Masalah ini terjadi karena windows memerlukan fitur CPU yang mendukung PAE, NX, and SSE2 sebelum memulai instalasi windows 8. Meskipun hampir semua prosesor yang ada saat ini mendukung fitur ini, namun apa salahnya kalo kita mengecek kembali apakah Prosesor komputer/laptop kita mendukung fitur2 yang disebutkan diatas, Caranya cukup sederhana, hanya download sebuah program kecil kemudian jalankan sebuah perintah, program yang bernama Coreinfo ini dapat membantu kita untuk melihat apakah cpu/prosesor dapat mendukung untuk menginstall windows 8.

Silahkan Ikuti instruksi yang diberikan di bawah untuk mengetahui bagaimana menggunakan tool Coreinfo untuk memverifikasi apakah prosesor PC Anda mendukung fitur PAE, NX, dan SSE2.
Download file zip alat Coreinfo disini dan ekstrak file tersebut untuk mendapatkan file coreinfo.exe.
Buka Command Prompt dengan memasukkan CMD di dalam kotak menu Start pencarian dan menekan enter. Jika Anda berada di Windows 8 CP atau DP, beralih ke layar Mulai, ketik CMD lalu tekan enter untuk memulai hal yang sama.
Pada command prompt dan masukkan path lengkap ke file coreinfo.exe kemudian tekan tombol Enter. Misalnya, jika Anda menyimpan file coreinfo.exe pada desktop, Anda harus mengetikkan C:\Users\Namauser\Desktop\Coreinfo.exe dan tekan enter.

Lihatlah hasilnya, periksa apakah di entri PAE, NX, dan SSE2. Jika prosesor Anda mendukung fitur ini, kita akan melihat karakter * sebelah nama fitur, dan karakter – jika tidak didukung. Seperti yang kita lihat gambar di bawah ini, prosesor kita ternyata mendukung fitur PAE, NX, dan SSE2.


Rabu, 25 Juni 2014

0 HMI Bogor Rutinkan Kajian Jurnalistik

      Bogor (1/6) Peran media dalam pembangunan demokrasi sangat besar, sehingga ruang publik tidak lagi tertutup hanya untuk pemegang kebijakan saja sehingga masyarakat bisa barpartisipasi terhadap penyusunan kebijakan publik, tetapi perjalan media kian hari kian tak jelas arah tujuan dari keberadaannya, hal ini diungkapkan oleh Ketua Bidang Kajian dan Intelektual HMI-MPO Cabang Bogor Askur Al-Liwaun “Bahwa media hari ini kehilangan arah tujuan, karena media sering kali di tunggangi oleh kepentingan  individu, golongan, bahkan partai politik untuk memasarkan satu visi dan misi dari satu kepentingan”.

Media apapun tidak terkecuali, entah elektronik atau pun cetak mereka harus selalu berada pada jalur independen, menjadi wasit yang bisa di dengar dilihat dan dibaca oleh masyarakat,

Hari ini entah media cetak dan elektronik membutakan pandangan masyarakat dalam berpartipasi dalam kebijakan publik dengan menggiring kepada satu pigur, dan ini jika di biarkan akan berbahaya, dan saat ini mahasiswa harus mengambil peran yang sudah terkikis ini sehingga cita-cita reformasi dan demokrasi bisa terwujud, tegasnya.

Hal ini juga di ungkapkan oleh salah satu peserta pelatihan jurnalistik Wulan Daniati menjelaskan “sangat membantu kami yang masih minim dengan ilmu kejurnalisan, sehingga bisa membedakan mana isu yang benar dan mana isu bohongan. tegasnya saat diwawancara.

Redaktur HMI.NEWS.COM Fathurahman yang juga pembicara pada saat itu menyayangkan kepada media cetak atau elektronik karena tindakan media satu ini, yang terlihat tidak independen menggiring opini piblik.

Jurnalistik harus dipahami secara mendasar dari teori sampai pada pelaksanaan atau pembuatan berita. selain itu seorang jurnalis harus selalu mengedepankan kode etik jurnalis dalam setiap kegiatan tegasnya dalam pemaparan materi pengantar jurnalisme dan pembuatan berita.

Media harus menjadi instrumen yang dimiliki publik dalam mewujudkan tujuan demokrasi sebagai cita-cita reformasi, dan mahasiswa harus mengawal dan memberikan kontribusi besar dalam bidang jurnalisti.

0 Mempertanyakan Sistem Pendidikan di Indonesia

   
  
        Majunya sebuah negara, sangat terkait dengan peranan penting sektor “PENDIDIKAN”. Tanpa adanya pendidikan, sebuah negara tidak akan mengalami perkembangan dan kemajuan. Pemerintah harus benar – benar merancang sistem pendidikan yang baik sehingga sistem pemerintahan pun menjadi baik dan tertata. Karena sistem pendidikan yang baik akan mengatur, menjadikan dan mencetak manusia indonesia menjadi SDM yang berkualitas, berkarakter dan mumpuni, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dan selalu siap bersaing terhadap tantangan zaman yang semakin kompleks karena bangsa ini telah dipelihara dan dijaga oleh manusia Indonesia yang berkualitas. Maka dari itu “Pendidikan” merupakan suatu hal yang penting untuk mendapat perhatian baik dari Pemerintah ataupun masyarakat suatu bangsa tersebut.

    Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang terjadi khususnya terkait pendidikan di Indonesia, sehingga menimbulkan banyak kasus, diantaranya : 1) sistem ujian nasional, memacu banyak permasalahan seperti kecurangan, ketidak jujuran dan lain sebagainya, 2) kasus penganiayaan siswa kelas V SD di Jakarta Timur, 3) tindakan bunuh diri siswi SMP di Tabanan, Bali, 4) keterlibatan siswa dalam kekerasan tawuran antar – sekolah, 5) menjamurnya remaja geng motor dikalangan pelajar, 6) jual diri remaja yang biasa disebut “cabe-cabean”, 7) pelecehan seksual pada siswa dibawah umum seperti yang terjadi di JIS, 8) dan lain sebagainya.

     Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Apakah karena teknik pembelajarannya yang kurang tepat ? ataukah karena para pendidiknya yang kurang mumpuni dan profesional ? ataukah karena sistem pendidikannya yang amburadul ? Atau karena dikacaukan oleh sistem pemerintahan Indonesia atas kebijakan – kebijakan yang tidak tepat ?

    Diantara kasus – kasus itu yang hanya sebagian kecil dari semua kasus yang ada. Secara teknis, pembelajaran di Indonesia ibarat Kotak Deposito ( Safe Deposito Box ), sistem pendidikan top – down yang menganggap anak tidak tahu apa – apa, guru mengarahkan murid untuk menghapal isi pelajaran yang diberikannya, sehingga anak dituntut untuk menjadi seorang penghafal. Selain dari itu juga, meskipun di sekolah anak belajar tentang wirausaha, namun sangat penting anak dibekali keterampilan berwirausaha ataupun keterampilan lainnya bukan hanya sebatas teori. Sehingga setelah lulus nanti, anak memiliki banyak keahlian dan keterampilan tidak hanya pada 1 bidang. Pendidikan seolah mencetak anak untuk “siap pakai” dalam artian dari 2 kata itu, secara mendasar anak seolah dipersiapkan untuk menjadi seorang pekerja/employee yang dipandang sama dengan bagian dari unsur / komponen tenaga pendukung bidang industri / perusahaan yang dibutuhkan. Jadi kata “siap pakai” seharusnya diubah menjadi “siswa yang mampu menjawab permasalahan masyarakat dan tantangan dunia” yang memiliki artian yang lebih luas, sehingga paradigma pendidikan pun berubah untuk dapat mencapai tujuan tersebut.

     Melihat fenomena yang terjadi, budaya membaca di Indonesia itu sendiri masih sangat krisis, hal ini bisa terlihat ketika mengisi waktu luang anak – anak bahkan orang dewasa lebih memilih untuk kongkow ( nongkrong ), membuka facebook, twitteran, chating, nonton tv daripada belajar, membaca buku atau sekedar baca koran apalagi pergi ke Perpustakaan. Kenapa budaya membaca di Indonesia begitu sangat krisis ?

    Kesalahan yang terjadi tidak sedikit di Pendidikan Usia Dini mengajarkan anak dibawah usia 6 tahun untuk bisa membaca, menulis dan berhitung, juga tidak sedikit pula banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya masuk SD dibawah usia 7 tahun. Padahal baiknya menyekolahkan anak itu pada usia 7 tahun. Karena menurut beberapa pakar psikologi, mental dan intelektual anak usia 7 tahun dianggap matang sehingga nantinya anak lebih bisa menghadapi kehidupannya yang lebih kompleks dibandingkan anak yang menonjol pada IQ-nya. Terlalu cepat anak dimasukkan ke SD/MI bukan menjadikan anak itu matang, tetapi tumbuh secara prematur yang akhirnya menghambat pertumbuhan kedewasaan dan kematangan mental spiritualnya. Lebih baik sedikit terlambat diawal namun menjadi matang, daripada sebaliknya.

    Yang lebih mirisnya lagi anak usia dibawah 7 tahun sudah dipaksa untuk bisa calistung, tidak sedikit orangtua yang malu ketika anaknya masuk SD/MI tidak bisa calistung, maka dari itu banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya di TK/PAUD yang mengajarkan calistus. Para ahli psikologi menyebutkan bahwa mengajarkan anak calistus pada usia waktu tertentu dapat mempengaruhi perkembangan otak kanannya yang dapat membunuh kreativitasnya, pemerkosaan ini pula dapat mengakibatkan anak tidak suka membaca di masa yang akan datang.

     Bukan hanya itu, pendidikan moral dan pembunuhan karakter pun dirusak oleh pemberitaan media yang tidak bertanggungjawab dan tayangan – tayangan tv yang tidak mendidik. Perkembangan pertelevisian di Indonesia sangat pesat sejak runtuhnya rezim orde baru pada masa pemerintahan soeharto. Penayangan dan penyebaran informasi tak lagi dikekang seperti dulu. Televisi tak lagi menunjukkan tanggungjawab nya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa namun seolah bersifat komersil. Tayangan tak lagi memperhatikan dari segi kualitasnya namun menekankan nilai tukar yang menguntungkan. Namun bukan berarti kita bersifat apatis karena tak semua tayangan itu baik. Hanya saja kita perlu kritis, memilih dan memilah mana yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak, terutama membimbing anak ketika menonton. Pemerintah harus lebih dengan tegas mengeluarkan peraturan mengenai tayangan – tayangan televisi, peraturan mengenai artis televisi dan lain sebagainya. Karena bagaimana pun artis dipandang sebagai “public figure”, ketika hal – hal yang tidak baik ataupun pemberitaan dan gosip tentang selebriti yang diberitakan itu bukanlah suatu hal yang pantas ditiru dan tak selayaknya ditayangkan sehingga menjadi konsumsi publik, karena jika terjadi kesalahan dalam penyaringan informasi dan ketidakadilan hukum maka masyarakat akan menarik kesimpulan bahwa hal itu adalah wajar dan dapat diterima oleh masyarakat.

     Disadari atau tidak dari kesalahan itu kita seolah membangun ideologi – ideologi pragmatis yang akhirnya akan meruntuhkan dan membuat hancur.

      Jika disebutkan memang masih banyak lagi permasalahan yang mendasari munculnya permasalahan semua ini. Namun perubahan dan kemajuan itu akan sangat mungkin terjadi jika manusianya yang diubah. Maksudnya manusia indonesia khususnya, harus mendapatkan pendidikan secara merata, pendidikan yang menjadikan manusia – manusia Indonesia mampu menjawab persoalan hidup, menjawab tantangan permasalahan masyarakat sekitar dan dunia, mampu bersaing, kritis, berkepribadian, mandiri, religius dan kuat.

      Jadi, manusia dan pendidikan itu ibarat senyawa yang tak bisa dipisahkan. “PERUBAHAN ITU KARENA PENDIDIKAN”. Dan rekonstruksi pendidikan itu sangat penting dilakukan.

Sumber:  Tita Trestya (Pemerhati pendidikan dai kampong halaman ,PGMI 6C)

0 HMI MPO Tuntut Pengeroyokan Kader Oleh Massa Kampanye Diusut

    Sejumlah Cabang dan Pengurus Besar HMI MPO berunjukrasa menuntut pemukulan oleh massa kampanye Jokowi-JK terhadap salah satu kader HMI diusut. Massa berunjukrasa di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (24/6/2014). 
  Pengeroyokan terjadi pada 19 Juni saat massa kampanye capres-cawapres nomor 2 konvoi di Jalan Taman Siswa di depan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. Saat itu, Ketua Bidang PTKJ  HMI Cabang Yogyakarta, Sultan Akbar yang hendak menyeberang jalan saat massa kampanye melintas. Akibatnya ia mengalami luka memar-lebam di wajah dan tubuhnya, serta kepala berdarah.
      HMI UII dan Cabang Yogya telah melaporkan kasus tersebut ke Polres setempat, namun tak kunjung ada tindak lanjut.
      Menyikapi tidak adanya tindakan dari kepolisian, PB HMI MPO dan Cabang-Cabang yang datang  ke Jakarta guna melaksanakan Pleno 2 lantas mendemo Mabes Polri. HMI MPO menyampaikan tuntutan agar hukum ditegakkan dengan mengusut tuntas pengeroyokan.
     Selain itu, menyikapi masa kampanye yang dinilai cenderung menjurus didominasi kampanye hitam, HMI MPO menyerukan ‘Stop Kampanye Hitam’ yang dinilai dapat mengakibatkan konflik di masyarakat.

“Mengimbau kedua tim pemenangan dan simpatisan capres-cawapres nomor urut 1 dan 2 untuk menjalankan kampanye yang kondusif, damai dan edukatif” demikian tertulis dalam poin tuntutan.

  Sumber: HMInews.com

0 Keresahan dan Harapan Pada Pemilu 2014

     Tahun 2014 merupakan momen politik terbesar di Republik Indonesia, sudah semestinya pemilu bukan hanya menjadi kegiatan rutin lima tahun sekali, tetapi harus menjadi tonggak perubahan arah bangsa untuk lima tahun kedepan. Dari kaca mata penulis, pemilu saat ini banyak disalahartikan oleh masyarakat sebagai ajang jual beli janji, hal ini diduga karena kurangnya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat.

    Liberalisasi politik membuat proses demokrasi pun berjalan pragmatis dan sangat transaksional. Pragmatis terlihat dari pola recruitment partai politik yang cenderung memilih orang-orang yang hanya memiliki popularitas yang tinggi saja dengan mengesampingkan kapabilitas, integritas dan kredibilitasnya. Pola fikir sebagian orang untuk mengambil jalur politik sebagai ladang mencari pendapatan dan keuntungan jelas salah arah, akibatnya muncul pikiran yang salah, kini kebanyakan berfikir bagaimana mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya saja sehingga terlena dan melupakan tugas utamanya untuk memajukan bangsa dan membela kepentingan rakyat. Sudah seharusnya para kaum elitis harus memegang teguh arti demokrasi Indonesia.

      Penulis mengajak untuk melihat kembali kepada hal yang paling mendasar dan fundamental, agar tidak menjadi perdebatan panjang ketika pemilihan umum usai yang dapat melukai demokrasi Indonesia. Pembaca mungkin ingat dengan polemik pemilu 2014 terkait putusan Mahkamah Konstitusi. Bila dilihat secara keseluruhan, masyarakat belum banyak yang mengetahui hasil putusan MK terkait pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan diselenggarakan serentak di pemilu 2019 mendatang sehingga muncul pertanyaan yang sangat sederhana “apakah pemilu 2014 ini sah secara konstitusi dan hukum?”. Menurut peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, M.Zaenur Rohman dalam penyampaian materinya dalam diskusi yang dilaksanakan Badan Eksekutif Mahasiswa UGM beberapa saat lalu, pemilihan umum di tahun 2014 sah secara konstitusi dan hukum, tetapi ada beberapa catatan kecil yang cukup penting karena terdapat dua pelanggaran hukum didalam proses ini yaitu secara prosedural formil dan pengambilan keputusan yang terkesan sangat lama di MK.

Melawan Politik Uang dan Pencitraan                    

       Penulis mencoba mengkaitkan antara era keterbukaan politik Indonesia yang cenderung berkembang kepada politik praktis transaksional dengan menurunnya presentrase voters turn out. Ideologi partai politik banyak dipertanyakan, pengkaderan parpol semakin lemah, oleh karenanya parpol banyak melakukan jalan pintas untuk mendongkrak perolehan suara dengan mencalonkan calon-calon karbitan.

       Sangat disayangkan, kepedulian partai politik terhadap keseriusan untuk  memajukan negara tidak banyak terlihat, tidak pantas rasanya kedudukan kursi dewan yang terhormat diisi oleh orang yang tidak peka akan keperluan mendasar rakyat Indonesia, mengambil keputusan yang tidak didasari oleh UUD 1945 dalam setiap langkah, dan yang sangat menyedihkan ketika kebijakan yang dibuat merugikan bangsa Indonesia dengan menjual kekayaan alam kepada pihak-pihak asing. Sudah seharusnya kita kembali kepada cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang telah berjuang dengan bambu runcingnya untuk melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa ini, Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar pertimbangan dalam setiap langkah.

     Bila pembaca mengikuti jalannya masa kampanye hampir disetiap daerah saat ini, pendidikan politik dan pencerdasan politik di masyarakat bisa dikatakan sangat rendah, para calon tidak banyak yang membicarakan visi misi dalam platform-nya. Mayoritas, para calon mensosialisasikan dirinya tanpa konsep yang jelas. Kekhawatiran yang mendasar inilah adalah pemicu praktik  kecurangan yang muncul di lapangan, pihak yang membutuhkan suara kemudian melakukan berbagai macam cara, salah satunya dengan politik uang. Hal ini yang menyebabkan tingginya cost politik di masa kampanye sekarang.

    Akar permasalahan dari tingginya gejala Golput bukan pada kesadaran politik masyarakat, melainkan kepada krisis calon pemimpin dan bobroknya integritas etika dan moral pemimpin. Apatisme masyarakat sesungguhnya tidak dapat disalahkan. Minimnya rasa percaya karena sudah banyak sekali fenomena yang membuat masyarakat semakin apatis dengan politik di negara kita.

     Di balik itu semua bangsa Indonesia didirikan bukan karena berjuta-juta permasalahan tetapi karena ada berjuta-juta harapan yang bersinar terang sehingga kita harus percaya bahwa masih ada orang-orang yang akan berjuang dan memikirkan rakyat Indonesia, mari kita  memposisikan diri sebagai pemilih yang cerdas dengan melihat kesiapan dan kematangan calon-calon pemimpin bangsa kita.

Cahaya Harapan Bangsa Ada Di Tangan Kita

      Dari sedikit keresahan yang telah penulis utarakan, sejujurnya banyak cita-cita dan harapan rakyat Indonesia yang ada pada pundak para pemimpin bangsa. Pemilu adalah salah satu variabel pembantu tercapainya kedewasaan demokrasi, dengan Pemilu langsung adalah cara terbaik dalam penyampaian amanah rakyat kepada para pemimpin. Dalam tercapainya kualitas peningkatan nilai demokrasi menjadi lebih baik diperlukan partisipasi dan kontrol masyarakat didalamnya, pada kesempatan dan momentum politik terbesar di Indonesia pada tahun 2014 kali ini, perlu dipahami bersama harus ada intergrasi yang saling mendukung antara yang dipimpin dan yang memimpin bangsa Indonesia kelak. Karena demokrasi berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.

      Oleh karena itu penulis mengajak untuk semua pembaca untuk cerdas dan cermat memilih calon pemimpin bangsa terkhusus untuk memilih calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia tahun 2014-2019.  Tidak semua partai politik dan calon legislatif buruk, itulah yang harus kita pahami, dengan cara membedah visi misi dan mencari tahu track record atau rekam jejak para calon pemimpin yang akan menjadi jembatan aspirasi masyarakat adalah langkah kongkrit dalam memposisikan diri sebagai pemilih cerdas.

    Banyak cara yang bisa digunakan untuk mengetahui rekam jejak dan visi misi calon,  dengan perkembangan teknologi yang serba canggih yang memudahkan kita untuk mengakses informasi tersebut. Ada dua kriteria yang harus dipenuhi oleh calon. Secara dasar dapat ditentukan dari kesiapan dan kematangan calon. Kesiapan diartikan bilamana calon tersebut telah siap untuk merelakan sisa hidupnya demi membela kepentingan rakyat dan konstituennya. Sedangkan kematangan dilihat dari kapasitas politik, kepahaman mengenai ketatanegaraan, mental, integritas moral dan etika yang berorientasi kepada kemajuan negara dan kepentingan rakyat.

    Sumber: Adhitya Herwin Dwiputra (Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas                   Gadjah Mada